Manusia
di takdirkan oleh Allah, SWT sebagai makhluk individu atau pribadi maupun
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu atau pribadi manusia memiliki
hak dan kebebasan dalam beragama. Dan manusia sebagai makhluk sosial memiliki
kebebasan yang di batasi oleh kebebasan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial
manusia membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Di dalam negara Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, Kerukunan antar umat
beragama merupakan perwujudan dari nilai-nilai pancasila terutama sila pertama
dan sila ketiga.
Ajaran
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun)
dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan
agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat
Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan
tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri oleh pihak
lain, tetapi dalam aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama
yang baik.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial antar
manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam
bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan
sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
Hubungan
Intern Umat Islam
Rasul
mengajarkan umatnya untuk saling memberikan perhatian dan kepedulian terhadap
sesama, sehingga terwujud ukhuwwah Islamiah. Ukhuwwah atau persaudaraan lahir
karena adanya persamaan-persamaan. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan
kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan muslim dikenal
dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan
aqidah. Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam
masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Ukhuwwah Islamiah dapat
membentuk kasih sayang antara manusia hingga terbentuknya persaudaraan yang akhirnya
akan terbentuk suatu masyarakat “marhamah”. Seperti terdapat dalam Firman
Allah:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujarat, 49:10)
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian
penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti
persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik
persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama.
Ukhuwah
yang islami dapat dibagi kedalam empat macam, yaitu :
1.Ukhuwah ’ubudiyah, saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
2.Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah
bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan
Hawa.
3.Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan
kebangsaan.
4.Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim.
Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk
perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan.
Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ”Seorang
mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota
tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya”.
Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa
kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab
rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena
randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. Persatuan di kalangan muslim
tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan
golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat.
Perpecahan
itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim
terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya
seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu hukum
yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat
dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi,
karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai
penafsiran.
Untuk
menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah
para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
1.Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah).
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan
agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan
selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari
interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
2.Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun (kesalahan dalam
berijtihad mendapatkan ganjaran).
Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah ,
walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat
bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan
Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian,
perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang
pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritas keilmuan yang
disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3.Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan
suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid).
Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum
ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka
Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam, khususnya para
mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang
dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil
ijtihad itu berbeda-beda.
Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya
perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan
firman-fiman-Nya, sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat
relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan
tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam
tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga
tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan
untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling
bertentangan.
Hubungan
antar Umat Beragama
Dalam hubungan Umat Islam dengan Umat beragama lain,
Al-Quran mengajarkan prinsip-prinsip toleransi sebagai rujukan. Prinsip-prinsip
tersebut adalah:
1.Dilarang melakukan pemaksaan beragama baik secara halus apalagi kasar
2.Manusia berhak memillih, memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya
3.Tidak berguna memaksa seseorang agar menjadi seorang muslim
4.Allah tidak melarang hidup bermassyarakat dengan orang yang tidak sepaham
atau tidak seagama, selama tidak memusuhi Islam. Firman Allah SWT, :
“Tuhan tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan bersikap jujur terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampungmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang jujur”. (QS.Al-Mumtahana, 60:8)
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak
selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat
diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan
nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Islam yang
hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak
sosial yang lahir dari pelaksanaan ajaran islam secara konsekwen dapat
dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,
nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna
menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan. Dominasi
salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab
ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal.
Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo.
Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin
monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa
perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan
dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga
tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk
Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan
menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu
ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam
tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukan
peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan
masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an
tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian. menghindari
pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar.
Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi
hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa
dan agama.
Hubungan
antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam,
kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah.
Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern
umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial
kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial antar
manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam
bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan
sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
Islam adalah agama yang toleran. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2009 di Padangpanjang, Sumatera
Barat, telah menetapkan fatwa tentang delapan Prinsip Ajaran Islam mengenai
Hubungan Antar umat Beragama dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yaitu ;
1.Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk NKRI dengan Pancasila sebagai
falsafah bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi merupakan
ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan hidup
bersama, kesepakatan itu mengikat seluruh elemen bangsa.
2.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dalam hal suku, ras, budaya
maupun agama. Karenanya bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa
ini sebagai sebuah bangsa yang majemuk tetapi tetap bersatu, dengan semboyan
bhineka tunggal ika.
3.Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia harus terus menjaga
konsensus nasional itu.
4.Dalam hal kemajemukan agama, negara mengakui eksistensi beberapa agama, dan
masing-masing agama tersebut mempunyai posisi yang sama di dalam konstitusi
negara. Negara menjamin warganya untuk memeluk agama masing-masing.
5.Islam mengakui eksistensi agama lain tanpa mengakui kebenaran agama tersebut,
sebagaimana pada masa Nabi juga mengakui eksistensi agama selain Islam, antara
lain Yahudi, Nasrani dan Majusi.
6.Dalam konteks berbangsa dan bernegara, setelah Proklamasi 1945, Islam
memandang posisi umat beragama sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat
oleh komitmen kebangsaan, sehingga harus hidup berdampingan secara damai.
7.Guna terhindar dari konflik antar pemeluk agama di Indonesia, negara wajib
menjamin warganya untuk menjalankan agamanya dan melindungi kemurnian agama
sesuai dengan ajaran agama masing-masing dari setiap upaya penodaan agama.
8.Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi yang melakukan
penodaan agama, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, maka negara
harus menindaknya secara tegas sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.