Selama ini
masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas bangsanya. Agar dapat
memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih dulu arti Identitas Nasional
Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada
suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan
hal-hal lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa,
menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat,
cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas
Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Uraiannya mencakup
:1.identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional, paradoksal
dan monopluralistik. Keadaan manusia
yang multidimensional, paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut akan
mempengaruhi eksistensinya.
Kesimpulan
Identitas Nasional Indonesia adalah sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya pun berbeda-beda.
Nilai-nilai tersebut kemudian disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila.
Nilai-nilai ini penting karena merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa.
Oleh sebab itu, nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk
ditekankan pada diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan
identitas.
Faktor-faktor yang
Mendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran identitas nasional suatu
bangsa memilki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat
ditentukan oleh factor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
tersebut. Adapun factor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
bangsa Indonesia meliputi (1) factor objektif, yaitu meliputi factor geografis,
ekologis, dan demografis, (2) factor subjektif, yaitu factor historis, sosial,
politik, dan kebudayaan yang dimilki bangsa Indonesia.
Robert de Ventos mengemukakan teori
tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi
historis antara empat factor penting, yaitu factor primer, faktor pendorong,
faktor penarik, dan faktor reaktif.
Faktor pertama, mencakup etnisitas,
territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang
tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama, wilayah serta bahasa daerah,
merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing.
Faktor kedua, meliputi pembangunan
komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan
lainnya dalam kehidupan bernegara. Dalam hubungan ini bagu suatu bangsa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara dan bangsanya
juga merupakan suatu identitas nasional yang dinamis.
Faktor ketiga, meliputi kodifikasi
bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem
pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa
persatauan dan kesatuan nasional sehingga bahasa Indonesia dipilih sebagai
bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia.
Faktor keempat, meliputi
penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori
kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh
bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori
kolektif rakyat Indonesia.
Faktor-faktor penting
bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya
persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing
lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya
keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya
kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang
sampai Merauke
4.
Adanya cita-cita, tujuan dan visi
bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
Unsur-Unsur
Identitas Nasional
Unsur-unsur
pembentuk identitas yaitu:
1. Suku
bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak
lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia
terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300
dialeg bangsa.
2. Agama:
bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh
dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan Kong Hu Cu. Agama Kong H Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama
resmi negara. Namun sejak
pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan:
adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah
perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan
oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk
kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4.
Bahasa:
merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahsa dipahami sebagai
system perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia
dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur
Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian
sebagai berikut :
·
Identitas Fundamental, yaitu pancasila
merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
·
Identitas Instrumental yang berisi UUD
1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara,
Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
·
Identitas Alamiah, yang meliputi Negara
kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama,
sertakepercayaan.
Menurut sumber lain (
http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati diri dengan
dua identitas:
1.
Identitas Primordial
o
Orang dengan berbagai latar belakang
etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
o
Orang dengan berbagai latar belakang
agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
2.
Identitas Nasional
o
Suatu
konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
o
Perlu
dirumuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara
terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara
filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
o
Eksistensi
suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh
kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist
Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan
menguasai dunia.
Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
Globalisasi diartikan sebagai suatu
era atau zaman yang ditandai dengan perubahan tatanan kehidupan dunia akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi sehingga
interaksi manusia nienjadi sempit, serta seolah-olah dunia tanpa ruang. Era
Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era
Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka tidak suka telah datang dan menggeser
nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tersebut, ada yang bersifat positif ada
pula yang bersifat negatif. Semua ini merupakan ancaman, tantangan, dan
sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi
di segala aspek kehidupan. Di era globalisasi, pergaulan antarbangsa semakin
ketat. Batas antarnegara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi
menjadi penghalang. Di dalam pergaulan antarbangsa yang semakin kental itu,
akan terjadi proses akulturasi, saling meniru, dan saling mempengaruhi di
antara budaya masing-masing
Konsekuensi dan implikasinya adalah
identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir
dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual
yang berkembang dalam masyarakat.
Krisis multidimensi yang kini
sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai
upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai
komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita
dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu
: “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia“ yang diberi penjelasan :
” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya
dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Dengan demikian secara
konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan
identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan
bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak
kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di
tahun 1952 Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali
sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana
orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau
proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara
di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru
atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi
dan budaya masyarakat.
Globalisasi mempengaruhi hampir
semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap
berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek
kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek
kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah
kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala
tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi
budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari
persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah
Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi
kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi. Kontak melalui
media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa.
Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal
ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya
globalisasi kebudayaan
1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
2. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism),
dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar
kebudayaannya.
3. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
4. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara
lain.
5. Berkembangnya
mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
6. Bertambah
banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
Munculnya arus globalisme yang
dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam
eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap
berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa
menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor
kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang
malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi
adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam setiap
kita berpikir dan bertindak.
Persolan utama Indonesia dalam
mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan
kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila
kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita
masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka
globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.
Pancasila sebagai
Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu
bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam
hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa
Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan
prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup
berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri
bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian
diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila.
Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang
bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa
pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya
bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul
secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui
suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas
Nasional. Menurut sumber lain :
Disebutkan bahwa : kegagalan dalam
menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional
secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah
satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I
Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting
Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas
Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai
persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra
dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan
nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat
utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena
globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas
tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme
sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi
diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara berkembang. Konflik-konflik
serupa juga melanda Indonesia.
Dalam ulang tahunnya yang ke-62,
bangsa Indonesia dihadapkan pada pentingnya menghidupkan kembali identitas
nasional secara nyata dan operatif.Identitas nasional kita terdiri dari empat
elemen yang biasa disebut sebagai konsensus nasional. Konsensus dimaksud adalah
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Revitalisasi
Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan
cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi
menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti
"Membela Pancasila Sampai Mati" atau "Dengan Pancasila Kita
Tegakkan Keadilan" menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis
atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya,
kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan
realitas kehidupan masyarakat.
Karena
itu, Pancasila harus dilihat sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara
otomatis akan tertanam pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita-
cita, seperti kehidupan rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan
bertahap. Dengan demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan
guna mencapai cita-cita itu.
Selain
perlunya penegasan bahwa Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain yang
dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah mencari
maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras
Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi
strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno,
jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah
maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila.
Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong
Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
Keterkaitan Identitas
Nasional dengan Integrasi Nasional Indonesia
Berbagai peristiwa sejarah di
negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah yang membawa
negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Besarnya kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit tidaklah mengalami proses kejayaan yang cukup lama, karena pada waktu
itu persatuan cenderung dipaksakan melalui ekspansi perang dengan menundukkan
Negara- Negara tetangga.
Sangat berbeda dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum proklamasi tersebut telah
didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersatu
dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia,
berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan
(Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928).
Dilihat dari banyak ragamnya suku,
bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat bangsa ini menjadi rentan
pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila
sebagai dasar bernegara.
Dilihat dari bentuknya Pancasila
merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang
luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut
dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk
ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda
tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai
yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman
dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu
ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang
didalam nya terkandung lima sila.
Dalam pidato bahasa Inggris di
Washington Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari bangsa
Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi Indonesia yaitu
Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau dasar yang mana
dasar pertama Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan, kedua berdasar Kemanusiaan,
ketiga persatuan , dan keempat adalah demokrasi, serta kelima adalah keadilan
social.
Seringkali bangsa kita ini
mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata beberapa tokoh
adalah berkat kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari
kesaktian pancasila tanggal 1 Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya
Pancasila hingga saat ini masih kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara
seperti Indonesia ini.
Untuk itu dengan perkataan lain,
dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam
hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang
aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti
luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang
diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain
sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam
tataran nasional maupun internasional.
Identitas
Nasional Indonesia merujuk pada sualu bangsa yang majcmuk. Ke-majemukan itu
merupakan gabungan dari unsur-unsur pembcntuk identitas, yaitu suku
bangsa,agama,kebudayaan,danbahasa.
1) Suku Bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada
sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di
Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kclompok etnis dengan tidak
kurang 300 dialek bahasa.
2) Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama
yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristcn, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak
diakui sebagai agama resmi negara, tctapi sejak pcmerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3) Kebudayaan:
adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah
perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolcktit digunakan
oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahanii lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam
bentuk kelakuan dan benda-bendakebudayaan)sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi.
4) Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipa!
ami sebagai sistem pcrlambang yang secara arbitrcr dibentuk alas unsur-unsur
bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi
antarmanusia.
Dari imsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat diruinuskan pembagiannya
menjadi 3 bagian sebagai berikut:
1)
Identitas Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar
Negara, dan.ldeologiNegara.
2) Identitas Instrumental, yang berisi UUD 1945 dan Tata Pcrundangannya, Bahasa
Indonesia, Lambang Ncgara, Bcndcra Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
3) Identitas Alamiah yang ineliputi Negara Kepulauan (archipelago} dan
pluralismc dalam suku.bahasa,budaya,sila agama dan kcpercayaan (agama).
Keterkaitan Globalisasi dcngan Identitas Nasional
Adanya
lira Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Era Globalisasi tersebut man tidak man, suka tidak suka telah datang dan
menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tcrscbul, ada yang bersifat
positifada pula yang bcrsifat negatif. Semua ini merupakan aneaman, tantangan.
dan sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia iinluk bcrkrcasi dan
bcrinovasi di scgala aspck kehidupan.
Di era globalisasi, pergaulan antarbangsa semakin ketat. Batas anlarnegara
hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi penghalang. Di dalam
pergaulan antarbangsa yang semakin kenlal ilu, akan tcrjadi proses akulturasi,
saling meniru, dan saling memcngaruhi di antara budaya masing-masing. Adapun
yang pcrlu dieermati dari proses akulturasi tersebut, apakah dapat melunturkan
lata nilai yang merupakan jati diri bangsa Indonesia? Lunturnya tata nilai
tersebut biasanya ditandai oleh dua faktor, yaitu:
1) semakin menonjolnya sikap individualists, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadi di atas kepentingan umum, hal ini bcrlcnlangan dengan asas
golong-royong; serta
2) semakin menonjolnya sikap materialises, yang bcrarti harkat dan martabat
kemaivjsiaan hanya diukur dari hasil atau kcbcrhasilan scseorang dalam
mcmperolch kckayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana cara inemperolehnya
menjadi tidak dipcrsoalkan lagi. Apabila hal ini lerjadi,berarti etika dan
moral telah dikesampingkan.
Arus
informasi yang semakin pesat mcngakibatkan akses masyarakat terhadap
nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak segera
dibcndung,
akan berakibat lebih serins ketika pada puncaknya masyarakat tidak bangga lagi
pada
bangsa dan negaranya.
Pengaruh
negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong nilai-nilai yang
telah ada di dalam masyarakat. Jika semua ini tidak dapat dibendung, akan
mengganggu ketahanan di segala aspek kehidupan, bahkan akan mengarah pad;
kredibilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus globalisasi yang sangat
deras tersebut, harus diupayakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan
nasional dapat terjaga, yaitu dengan cara merabangun sebuah konsep nasional
isme kebangsaan yang mengarah kepada konsep Identilas Nasional.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu ncgara
dengan negara yang lain mcnjadi semakin tinggi. Dengan demikian, kecenderungan
munculnya kejahatan yang bersilat transnasional semakin scring terjadi.
Kejahatan-kejahatan tersebut, antara lain terkait dengan masalah narkotika,
pencucian uang (money laundering), peredaran dokumen keimigrasian palsu, dan
terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh lerhadap nilai-nilai budaya
bangsa yang selama ini dijunjung tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
merajalelanya peredaran narkotika dan psikotropika sehingga sangat merusak
kepribadian dan moral bangsa, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal
tersebut tidak dapat dibendung, akan mengganggu terhadap ketahanan nasional di
segala aspek kehidupan, bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai Identitas
Nasional.
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional.
Untuk mewujudkannya, diperlukan keadilan dalam kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, dan sebagainya.
Sebenarnya, upaya mcmbangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan
bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik. Di samping itu,
upaya lainnya dapat dilakukan, seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam
mcncntukan komposisi dan rnckanisme parlemen.
Dengan demikian, upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu
terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya
pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu karena pada hakikatnya
integrasi nasional menunjukkan kckuatan persatuan dan kesaluan bangsa yang
diinginkan. Pada akhirnya, persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat
lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur, aman. clan tcntcram. Konflik
yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, dan Papua mcrupakan ccrmin belum
terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan. Adapun kctcrkaitan integrasi
nasional dengan Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi nasional dapat
menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang dibangun.
Dalam perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah menjadi
bentuk yang Icbih komplcks dan rumit. Hal ini dimulai dari tumbuhnya kesadaran
untuk menentukan nasib scndiri. Di kalangan bangsa-bangsa yang tcrtindas
kolonialisme, scperti Indonesia salah satunya, lahir semangat untuk mandiri dan
bebas untuk menentukan masa depannya scndiri. Dalam situasi perjuangan
kemerdekaan dari kolonialisme ini, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar
pernbenaran rasional dari tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat
mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pcmbcnaran
tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang
biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah, lahir konsep-konsep turunannya
seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan keduanya yang menjadi
konsep negara bangsa (nation state) sebagai komponsn-komponen yang membentuk
Identitas Nasional atau Kebangsaan. Dalam konteks ini, dapat dikalakan bahwa
Paham Nusionalismc a fan Paham Kebangsaan adalah sebuah situasi kcjiwaan kctika
kcsctiaan scscorang sccara total diabdikan langsung pada negara bangsa atas
nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat
perjuangan bersama mcrebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Semangat
nasionalisme diharapkan secara cfcktif dapat dipakai sebagai metode perlawanan
dan alat idcntifikasi olch para penganutnya untuk mengetahui siapa lawan dan
kawan.
Secara garis bcsar terdapat tiga pemikiran besar tentang nasionalisme di
Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu paham keislaman,
Marxisme, dan Nasionalisme Indonesia. Seiring dcngan naiknya pamor Soekarno
ketika menjadi Presiden Pertarna RI, kecurigaan di antara para tokoh
pergerakan-yang telah tumbuh di saat-saat menjclang kemerdekaan—berkcmbang
menjadi pola ketegangan politik yang lebih permancn antara negara mclalui figur
nasionalis Soekarno di satu sisi, dengan para tokoh yang nicwakili pemikiran
Islam (sebagai agama terbesar pemeluknya di Indonesia) dan Marxisme di sisi
yanglain.
Paham Nasionalisme Kcbangsaan sebagai Paham yang Mengaritarkan pada Konsep
Identitas Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kcbangsaan tcrhukti sangat efektif sebagai alal
perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Scmangat
nasionalismc dipakai sebagai metode perlawanan secara cfektif oleh para
penganutnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Larry Diamond dan Marc F.
Plattner bahwa para penganut nasionalisme dunia ketiga secara khas menggunakan
retorika antikolonialisme dan antiimperalisme. Para pengikut nasionalisme
tersebut berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat
diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam bcntuk
sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian, bangsa atau nation
mcrupakan sualu wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang mcmpunyai
persamaan keyakinan dan persamaan lainnya yang mereka miliki, seperti ras,
etnis, agania, bahasa, dan budaya. Unsur. persamaan tersebut dapat dijadikan
sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan tujuan organisasi
politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri alas populasi,
geografis, dan pemcrintahan yang pennanen yang disebutnegaraataustate.
Nation state atau negara bangsa merupakan sebuah bangsa yang mcmiliki bangunan
polilik (polilical building), seperli ketentuan-kelentuan perbatasan
teritorial, pemerintahan yang sah, pcngakuan luar negeri, dan sebagainya.
Munculnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia lidak bisa
dilepaskan dari situasi sosial politik dekade pertama abad ke-20. Pada waktu
itu semangat menenlang kolonialisme Belanda mulai bermunculan di kalangan
pribumi. Cita-cita bersama untuk merebut kemerdekaan menjadi semangat umum di
kalangan tokoh-lokoh pergerakan nasioi al. Kemudian, semangat tersebut
diformulasikan dalam bentuk nasionalisme yang sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
Menurut penganutnya, paham nasionalisme di Indonesia yang disampaikan oleh
Soekarno bukanlah nasionalisme yang berwatak sempit, sekadar meniru dari Barat,
atau berwatak chauvinism. Nasionalisme yang dikembangkan Soekarno bersifat
toleran, bercorak ketimuran, clan tidak agrcsif sebagaimana nasionalisme yang
dikembangkan t.i Eropa. Selain itu, Soekarno mengungkapkan keyakinan watak
nasionalisme yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, juga meyakinkan pihak-pihak
yang berseberangan pandanga’i bahwa kelompok nasional dapat bekerja sama dengan
kelompok mana pun, baik golongan Islam maupun Marxis. Sckalipun Soekarno
seorang Muslim, tetapi tidak sckadar mcndasarkan pada pcrjuangan Islam,
menurutnya kebijakan ini merupakan pilihan torbaik bagi kemerdckaan ataupun
bagi masa depan seluruh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme Soekarno
tersebut mendapat respon dan dukungan luas dari kalangan intclektual muda
didikan Barat, semisal Syahrir dan Mohammad Hatta. Kemudian, paham ini scmakin
bcrkembang paradigmanya hingga sekarang dengan munculnya konscp Identitas
Nasional. Schubungan dengan ini, bisa dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau
Kebangsaan di sini adalah merupakanrefleksidariIdentitasNasional.
Walaupun demikinan, ada yang perlu diperhatikan di sini, yakni adanya
perdebatan panjang tentang paham nasionalisme kebangsaan ketika para, founding
father bangsa ini mempunyai kesepakatan perlunya paham nasionalisme kebangsaan,
tetapi mereka berbeda pendapat mengenai masalah nilai atau watak nasionalisme
Indonesia.
Revitalisasi Pancasila scbagaimana manifestasi Identitas Nasional pada
gilirannya harus diarahkan pula pada pcmbinaan dan pengcmbangan moral. Dengan
dccmikian, moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk
mengatasi krisis dan disintegrasi yang ccnderung sudali menyentuh ke semua segi
dan sendi kehidupan. Pcrlu disadari bahwa moralitas Pancasila akan menjadi
tanpa makna dan hanya menjadi sebuah “karikatur” apabila tidak disertai dukungan
suasana kehidupan di bidang hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum
memang terdapat kcrelasi yang sangat erat. Artinya, moralitas yang tidak
didukung oleh kchidupan hukum yang kondusif akan menjadi subjeklivitas yang
satu sama lain akan saling berbenturan. Scbaliknya, ketentuan hukum yang
disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral, akan melahirkan suatu legalisme
yang represif, kontra produktif, dan bcrtcntangan dengan nilai-nilai Pancasila
itu sendiri.
Dalam
merevitalisasi Pancasila sebagai manifestasi Identitas Nasional,
penyeienggaraan MPK. hendaknya dikaitkan dengan wawasan:
1)
Spiritual, untuk mcletakkan landasan ctik, moral, religiusiias, sebagai dasar
dan arah pengembangansesuatuprofcsi;
2) Akademis, untuk menunjukkan bahwa MPK merupakan aspek being yang tidak kalah
pentingnya, bahkan lebih penting daripada aspek having dalam kerangka penyiapan
sumber daya manusia (SDM) yang bukan sekadar instrumen, melainkan sebagai
subjek pembaharuandanpencerahan;
3) Kebangsaan, untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar dalam pergaulan
antarbangsa tetap setia pada kepentingan bangsanya, serta bangga dan respek
pada jati diri bangsanya yang memiliki ideologi tersendiri; serta
4)
Mondial, untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa di masa kini siap
menghadapi dialektika perkembangan dalam masyarakat dunia yang “terbuka”.
Selain itu, diharapkan mampu untuk segera beradaptasi dengan perubahan yang
terus-menerus terjadi dengan cepat. Di samping itu, juga mampu mencari jalan
keluer sendiri dalam mengatasi setiap tantangan yang dihadapi. Sehubungan
dengan kondisi ini, dampak dan pengaruh perkembangan iptek yang bukan lagi
hanya sekadar pada sarana, melainkan telah menjadi sesuatu yang substantif,
yang dapat menjadi tantangan dan peluang untuk berkarya dalam kehidupan umat
manusia.
Dalam rangka pemberdayaan Identitas Nasional, perlu ditempuh dengan melalui
revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi Identitas Nasional
mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan
Pembukaan, serta dieksplorasikan
dimensi-dimensiyangmelekatpadanya,yangmeliputi:
1) Realitas, dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat kampus utamanya; suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat
sein im sollen dan das sollen im sein;
2) Idealitas, dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah
sekadar utopis tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai “kata kerja”
untuk membangkitkan gairah dan optimisme warga masyarakat agar melihat masa
depan secara prospektif, serta menuju hari esok yang lebih baik. Hal ini dapat
dilakukan melalui seminar atau gerakan dengantema“RevitalisasiPancasila”;
3) Fleksibilitas, dalam arti Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai
dan “tertutup”, atau menjadi sesuatu yang sakral, melainkan terbuka bagi
tafsir-tatsir barn untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus-menerus
berkembang. Dengan demikian, tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila
menjadi tetap aktual, rclevan, serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga
bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinncka Tunggal
Ika”, , agar Idcntitas Nasional dapat dipahami oleh masyarakat scbagai pcncrus
tradisi nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang, maka pemberdayaan
nilai-nilai ajarannya harus bermakna, dalam arti relevan dan fungsional bagi
kondisi aktual yang sedang berkembang dalam masyarakat. Perlu disadari bahwa
umat manusia masa kini hidup di abad XXI, yaitu zaman baru yang sarat dengan
nilai-nilai baru yang tidak saja berbeda, tetapi juga bertentangan dengan
nilai-nilai lama sebagaimana diwariskan oleh nenck moyang dan dikembangkan para
pendiri negara ini. Abad XXI sebagai zaman baru mengandung arti sebagai zaman
ketika umat manusia semakin sadar untuk berpikir dan bertindak secara baru.
Dengan kcmampuan rcfleksinya, manusia menjadikan rasio scbagai mitos, atau
sebagai sarana yang andal dalam bersikap dan bertindak dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Kesahihan tradisi, juga
nilai-nilai spiritual yang dianggap sakral, kini dikritisi dan dipertanyakan
berdasarkan visi dan harapan tentang masa depan yang lebih baik. Nilai-nilai
budaya yang diajarkan oleh nenek moyang tidak hanya diwarisi sebagai barang
sudah “jadi” yang berhenti dalam kebekuan normatif, tetapi harus diperjuangkan
serta terus-menerus ditumbuhkan dalam dimensi ruang dan waktu yang terns
berkembang dan berubah.
Dalam kondisi kehidupan bcrmasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda krisis
dan disintcgrasi, Pancasila pun tidak tcrhindar dari berbagai macam gugatan,
sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya sebagai dasar negara
ataupun sebagai manifestasi Identitas Nasional. Namun, pcrlu segera disadari
bahwa tanpa suatu “platform” dalam format dasar negara atau ideologi, mustahil
suatu bangsa akan dapat survive menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang
menyertai derasnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia.
Melalui revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan Identitas Nasional
inilah, Identitas Nasional dalam alur rasional-akadcmik tidak saja diajarkan
secara tekstual, tetapi juga segi konstckstualnya dieksplorasikan scbagai
refercnsi kritik sosial terhadap bcrbagai pcnyimpangan yang melanda masyarakat
dewasa ini. Untuk membentuk jati diri, nilai-nilai yang ada terscbut harus
digali dulu, misalnya nilai-nilai againa yang datang dari Tuhan, serta
nilai-nilai lainnya, sepcrti gotong royong, persatuan dan kcsatuan, juga saling
menghargai dan menghormati. Semua nilai ini sangat bcrarti dalam mcmpcrkuat
rasa nasionalisme bangsa. secara langsung akan memperlihatkan jati diri bangsa
yang pada akhirnya mewujudkanIdentitasNasional.
Sementara itu, untuk mengembangkan jati diri bangsa, harus dimulai dari pengembangan
nilai-nilai, yaitu nilai-nilai kejujuran, kcterbukaan, berani mengambil resiko,
bertanggung jawab, serta adanya kcsepakatan di antara sesama. Untuk itu, perlu
perjuangan dan ketekunan untuk menyatukan nilai, cipta, rasa, dan karsa.
(Soemarno, Soedarsono).
Di sinilah, letak arti pentingnya penyelenggaraan MPK dalam kerangka pendidikan
tinggi untuk mengembangkan dialog budaya dan budaya dialog untuk mengantarkan
lahirnya generasi penerus yang sadar dan terdidik dengan wawasan nasional yang
rnenjangkau jauh ke masa depan. MPK. harus dimanfaatkan untuk mengembalikan
Identitas Nasional bangsa, yang di dalam pergaulan antarbangsa dahulu dikenal
sebagai bangsa yang paling “halus” atau sopan di bumi “het zachste volk ter
aarde”.(W\bisor\o Koento: 2005) Dari nilai-nilai budaya tersebut, lahir asumsi
dasar bahwa menjadi bangsa Indonesia tidak sekadar masalah kelahiran saja,
tetapi juga sebuah pilihan yang rasional dan emosional yang otonom.